Akulturasi dan Enkulturasi
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan
kelompok itu sendiri.
Enkulturasi
Berbicara
tentang enkulturasi kebudayaan berarti membicarakan seluk beluk
antropologi yaitu membicarakan tentang kotak-kotak kebudayaan (culture contact).
Penelitian terhadap studi enkulturasi di Amerika, bermula dari reaksi
terhadap suatu upaya rekonstruksi "memory culture". Kajian enkulturasi
kebudayaan berawal dari Inggeris, Perancis, dan Belanda untuk memecahkan
masalah-masalah praktis di daerah penjajahan; juga faktor utama yang
menyebabkan semakin populernya kajian ini. Sementara di Amerika
perkembangan pesat dari studi enkulturasi adalah lebih berkaitan dengan
berbagai masalah sosial yang timbul sebagai akibat masa depresi ekonomi (malaise). (Poerwanto, 1997; 56).
Definisi enkulturasi yang sistematik, pertama kalinya dikemukakan oleh Redfield, Linton dan Herskovits (1936): "Acculturation
comprehends these phenomena which result when groups of individuals
having different cultures come into continous first-hand contact, with
subsequent changes in the original cultural patters of either or both
groups". Sementara itu terdapat kritikan yang meluas tentang
pembatasan tersebut, dan kemudian beberapa penulis melakukan modifikasi;
termasuk juga dilakukan oleh tiga orang tersebut di atas. Sekalipun
demikian, umumnya mereka tetap berpegang pada definisi tadi sekalipun
memahaminya diperlukan beberapa pertimbangan untuk selalu melihat dalam
keterkaitannya dengan keseluruhan dari isi memorandum. Beberapa point
yang sangat sulit untuk ditafsirkan adalah (1) apa sebenarnya pengertian
"continous first-hand contact"; (2) apa pengertian dari "groups of individuals";
(3) bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dengan konsep perubahan
kebudayaan dan defusi; (4) bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dan
asimilasi; dan (5) apakah enkulturasi sebagai suatu proses ataukah
menunjukkan pada suatu keadaan (a process or a condition).
Dalam salah satu tulisan Thurnwald (1932) bahkan mengatakan bahwa enkulturasi "Acculturation is a process, not an isolated event",
sebagai implikasi dari pernyataannya itu, ia lebih menekankan suatu
proses yang terjadi pada tingkat individual, karenanya "suatu proses
adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru" itulah yang disebut
enkulturasi. Selain itu juga berpendapat bahwa "suatu hubungan bukan
hanya peristiwa tunggal semata tetapi secara tidak langsung dapat
diputar dari kedudukan tombolnya yang hampir menyerupai serangkaian
gerakan-gerakan yang hampir selesai terjadi; kesemuanya itu adalah
sebagai suatu proses dengan perbedaan tahapan".
Imran
Manan, PhD, (1989; 9) menyebutkan enkulturasi dalam arti luas,
pendidikan termasuk ke dalam proses umum, di mana seseorang anak
bertumbuh diinisiasikan ke dalam cara hidup dari masyarakatnya.
Pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat genetic, yang
menolong membentuk pikiran, karakter, atau kapasitas fisik seseorang.
Proses tersebut berlangsung seumur hidup, karena kita harus mempelajari
cara berpikir dan bertindak yang baru dalam perubahan besar dalam hidup
kita. Dalam arti sempit pendidikan, adalah penanaman pengetahuan,
keterampilan dan sikap pada masing-masing generasi dalam menggunakan
pranata-pranata, seperti sekolah-sekolah yang sengaja diciptakan untuk
tujuan tersebut. Istilah pendidikan juga berarti disiplin ilmu (termasuk
psikologi, sosiologi, sejarah, dan filosofi pendidikan).
Proses Enkultirasi Kebudayaan
Pendidikan
di sekolah hanya merupakan salah satu alat enkulturasi - pendidikan
yang lain, mencakup keluarga, gereja, kelompok sebaya dan media masa
masing-masing dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuannya sendiri. Demikian
pula pendidik mungkin ingin menanamkan kualitas tertentu pada anak-anak,
seperti berpikir bersih dan pertimbangan bebas, namun pendidik terbatas
kesanggupan untuk berbuat demikian karena kenyataannya badan-badan lain
mungkin membentuk anak secara berbeda. Televisi, umpamanya,
kadang-kadang berusaha memberi informasi, tetapi kebanyakan TV memberi
hiburan, kadang-kadang sensasi, dan secara tetap "menjualkan" melalui
insinuasi, penonjolan, dan bujukan.
Conny
R. Semiawan (2007; 118) menyebutkan bahwa pendidikan itu merupakan
"proses membebaskan diri", di mana insan manusia memperoleh peluang
mengaktualisasi diri secara optimal "to become what he is capable of",
suatu upaya untuk memberdayakan manusia sesuai kemampuan yang ada
padanya dan sesuai pilihannya sendiri. Ini adalah suatu pengembangan
kemampuan manusia (human capacity development, HCD). Pernyataan
ini menggaris bawahi bahwa pendidikan membantu manusia untuk merubah dan
mengembangkan dirinya serta meng-enkulturasi diri bukan
meng-diisolasikan diri.
Proses enkulturasi kebudayaan terdapat beragam pendapat sebagaimana yang penulis sebut di atas, apakah enkulturasi merupakan; ;continous first-hand contact"; groups of individuals;
bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dengan konsep perubahan
kebudayaan dan defusi; bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dan
asimilasi; dan a process or a condition. Enkulturasi merupakan
proses kebudayaan dan berkaitan dengan "Sistem nilai budaya dalam
kebudayaan" dari semua kebudayaan yang ada di dunia. Kerangka ini telah
dikembangkan oleh seorang ahli antropologi, Clyde Kulkckhohn. Sesudah
ia meninggal, konsepnya dikembangkan lebih lanjut oleh istrinya Florence
Kulkckhohn, yang dengan kerangka itu kemudian melakukan suatu
penelitian yang nyata. Uraian tentang konsep itu bersama hasil
penelitiannya dimuat dalam sebuah buku berjudul Variations in value Orientation
(1961), yang ditulisnya bersama dengan seorang ahli sosiologi bernama
F.L. Strodtbeck. Kerangka Kulkckhohn dapat dilihat pada tabel berikut
ini;
Masalah dasar dalam hidup
|
Orientasi Nilai- budaya
| ||
Hakekat hidup
(MH)
|
Hidup itu buruk
|
Hidup itu baik
|
Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik
|
Hakekat karya
(MK)
|
Karya itu untuk nafkah hidup
|
Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya
|
Karya itu untuk menambah karya
|
Persepsi Manusia tentang waktu
(MW)
|
Orientasi ke masa depan
|
Orientasi ke masa lalu
|
Orientasi ke masa depan
|
Pandangan manusia tentang alam
(MA)
|
Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat
|
Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam
|
Manusia berhasrat menguasai alam
|
Hakekat hubungan antara manusia dengan sesamanya
(MM)
|
Orientasi kolateral(horizontal), rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong royong)
|
Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat
|
Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri
|
Menurut
Koentjaraningrat (1994; 25) bahwa sistem nilai budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai
dalam hidup.